Jakarta - Heran, regulator di Indonesia itu naif apa zalim ya? Sampai berani bilang sebuah teknologi yang sifatnya netral sebagai barang ilegal. Ibarat pisau, apakah pisau ilegal? Jelas pisau bukan barang ilegal kan? Hal yang sama terjadi dengan Open BTS, ini adalah sebuah teknologi bahkan bisa digunakan oleh operator seluler biasa. Lho kok disebut ilegal?
Akibat pernyataan seperti itu lumayan fatal dan membuat kita miris, seperti di antaranya:
-. Beberapa mahasiswa takut tugas akhir Open BTS karena takut ditangkap aparat barangkali?
-. Beberapa dosen di perguruan melarang mahasiswanya untuk tugas akhir Open BTS.
Bisa jadi kalau kebablasan ini dibiarkan, bukan mustahil lama kelamaan bangsa ini jadi bodoh karena teknologi 'break through' mungkin akan dianggap Najis & Haram!
Mungkin kebanyakan regulator, komentarnya tidak jauh dari 'Rakyat WAJIB tunduk peraturan, WAJIB minta ijin, WAJIB bayar pajak, WAJIB punya lisensi, WAJIB A, WAJIB B, WAJIB C diluar itu ILEGAL'.
Tidak banyak regulator yang memberdayakan, seperti, 'Rakyat HAK anda menjadi pandai, HAK memperoleh informasi, HAK akses telekomunikasi, HAK A, HAK B, HAK C'. Lebih keren lagi kalau Regulator berani bicara, 'Silahkan kami dituntut kalau tidak bisa memenuhi HAK ASASI MANUSIA dan HAK RAKYAT'.
Aturan Buatan Manusia Bukan TUHAN!
Yang lebih mengerikan lagi, regulator di Indonesia sering kali melihat 'aturan' seperti sesuatu yang fix yang dibuat oleh TUHAN. Aturan adalah harga mati, tidak bisa ditawar dengan alasan ini diatur secara internasional dan lainnya.
Yang lebih menyedihkan lagi, sering sekali regulator bersembunyi di balik aturan, ini terutama terjadi saat debat publik (terus terang saya paling sebal kalau debat dengan birokrat/regulator model ini). Seakan-akan aturan itu sesuatu banget.
Padahal kenyataan hidup di dunia ini
Aturan itu buatan manusia, tidak ada buatan manusia yang sempurna.
Aturan biasanya dibuat untuk tujuan tertentu. Tujuan tersebut belum tentu berpihak pada rakyat banyak, kadang lebih berpihak pada operator/investor/pendapatan negara.
Aturan karena keterbatasan asumsi dan pengetahuan pembuatnya, bisa salah dengan berjalannya waktu.
Aturan itu dijamin cepat kadaluarsa apalagi di dunia teknologi yang perkembangannya demikian cepat,
Aturan BISA berubah dan diubah oleh kita, contoh silakan membaca-baca Kisah Pembebasan Frekuensi 2.4 GHz di Indonesia.
Biasanya seorang teknokrat (bukan birokrat) dan negarawan yang baik akan tanggap terhadap perubahan ini supaya bisa semaksimal mungkin dapat dieksploitasi manfaatnya bagi kesejahteraan bangsa. Hanya saja, nampaknya, kebanyakan pemegang pemerintahan hari ini bukan kategori ini.
Penggunaan Open BTS di Operator Seluler Indonesia
Penggunaan Open BTS di operator seluler di Indonesia tidak masalah secara teknologi. Yang perlu dilakukan minimal:
Open BTS berbicara menggunakan protokol SIP, yang digunakan di softswitch.
Interkoneksi softswitch open BTS ke softswitch seluler. Skenario ini, jika Open BTS menggunakan softswitch lokal.
Open BTS secara langsung menggunakan softswitch operator selular.
Open BTS menggunakan Teknologi ENUM untuk penomoran, teknologi ini merupakan bagian dari teknologi 4G yang mungkin belum di implementasikan dengan baik oleh operator telekomunikasi di Indonesia sekarang.
Dari sisi regulasi, kemungkinan hanya harus type approval peralatan Open BTS sesuai peraturan yang ada.
Jelas di sini bahwa untuk keperluan operator seluler, open BTS secara prinsip hanya masalah interkoneksi antara jaringan konvensional dengan jaringan open BTS yang agak beda sedikit arsitekturnya.
Peluang OpenBTS di UU
Apakah Open BTS ilegal untuk komunitas dan masyarakat?
Itu barangkali pertanyaan yang paling mendasar yang banyak dicari orang. Padahal jelas-jelas menurut Universal Declaration of Human Rights
[You must be registered and logged in to see this link.] tertulis dengan jelas.
Di article 19: Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.
Article 26 (1): Everyone has the right to education.
Jelas bahwa akses pada informasi dan pengetahuan merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling mendasar. Jika ada negara yang tidak memenuhi hak tersebut pada rakyatnya, maka sebetulnya negara tersebut telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Mari kita mengacu ke Undang Undang Telekomunikasi tepatnya UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Perhatikan baik-baik semangat yang ada dari UU Telekomunikasi di pasal 3 yang bunyinya.
Pasal 3
"Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antar bangsa".
Kenyataan hidup di republik ini:
Apakah jaringan telekomunikasi di Indonesia sudah adil dan merata?
Apakah sinyal GSM di Indonesia sudah adil dan merata?
Apakah harga akses jaringan di Indonesia sudah adil dan merata?
Kalau jawabannya TIDAK, maka sebetulnya pemerintah yang memberikan ijin kepada operator telekomunikasi telah gagal menjalankan fungsinya yang diamanatkan pada Pasal 3 UU Telekomunikasi. Yang agak mengerikan sebetulnya pemerintah telah melanggar Hak Asasi Manusia.
Padahal kalau kita baca lebih lanjut Undang Undang Telekomunikasi sebetulnya ada kunci yang sangat menarik, perhatikan baik-baik pasal 30 khususnya yang di-bold.
Pasal 30:
(1) Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi belum dapat menyediakan akses di daerah tertentu, maka penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a, dapat menyelenggarakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b setelah mendapat izin Menteri.
(2) Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi sudah dapat menyediakan akses di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud tetap dapat melakukan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi.
(3) Syarat-syarat untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Jadi jelas jika penyelenggara jaringan maupun jasa belum dapat menyediakan akses ke daerah tertentu, maka Penyelenggara telekomunikasi khusus dapat menyelenggarakan jaringan telekomunikasi
Perhatikan baik-baik Pasal 30 ayat 2, infrastruktur yang dibuat oleh jaringan telekomunikasi khusus tidak bisa semena-mena disingkirkan di kemudian hari.
Pertanyaannya, siapakah penyelenggara telekomunikasi khusus ini? Apa syaratnya? Ini dijelaskan di Pasal 8 Undang Undang Telekomunikasi. Perhatikan baik-baik kalimatnya.
Pasal 8
(1) Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b, dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu:
a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
c. badan usaha swasta; atau
d. koperasi.
(2) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c, dapat dilakukan oleh:
a. perseorangan;
b. instansi pemerintah;
c. badan hukum' selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan
atau penyelenggara jasa telekomunikasi.
(3) Ketentuan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Di sini jelas sekali dimungkinkan perorangan maupun badan hukum lainnya membuat jaringan telekomunikasi terutama di daerah yang tidak ada infrastruktur telekomunikasinya.
Peluang Open BTS di PP Kominfo
Argumentasi dari regulator biasanya, tadikan hanya di Undang Undang, Peraturan Pemerintah atau Keputusan Menterinya mana? Mari kita lihat bersama Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi.
Terus terang, tampaknya si pembuat Keputusan Menteri membuat sesuatu yang tidak konsisten. Tapi pada prinsipnya peluang untuk rakyat membuat sendiri jaringan tetap ada. Mari kita simak bersama.
Kuncinya ada di Pasal 6, perhatikan kalimatnya khususnya yang di-bold.
Pasal 6
(1) Dalam hal tidak tersedia jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), penyelenggara jasa telekomunikasi dapat membangun jaringan telekomunikasi.
(2) Jaringan telekomunikasi yang dibangun oleh penyelenggara jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang disewakan kepada pihak lain.
Jelas di Pasal 6 ayat 1, jika tidak tersedia jaringan telekomunikasi, maka penyelenggara jasa telekomunikasi dapat membangun jaringan telekomunikasi. Jadi non-operator telekomunikasi dapat membangun jaringan telekomunikasi asal mempunyai lisensi jasa telekomunikasi.
Sementara di UU Telekomunikasi lebih jelas bahwa perorangan atau badan hukum non-penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi dapat membuat jaringan telekomunikasi di daerah yang tidak ada jaringannya. Agak bertentangan sebetulnya, mungkin penulis keputusan menteri lupa. Biasalah.
Pertanyaan selanjutnya, siapakah? Apakah penyelenggara jasa telekomunikasi itu? Perhatian baik-baik Pasal 3 s/d 5 berikut.
Pasal 3
(1) Penyelenggaraan jasa telekomunikasi terdiri atas:
a. Penyelenggaraan jasa teleponi dasar;
b. Penyelenggaraan jasa nilai tambah teleponi;
c. Penyelenggaraan jasa multimedia.
(2) Penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf c dapat dilakukan secara jual kembali.
Pasal 4
Penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) merupakan penyelenggaraan yang jumlah penyelenggaranya tidak dibatasi.
Pasal 5
(1) Dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi menggunakan jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi.
(2) Penyelenggara jasa telekomunikasi dalam menggunakan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui kerjasama yang dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis.
Dari ke tiga (3) jenis penyelenggara jasa telekomunikasi, yang cocok untuk Open BTS adalah penyelenggara jasa teleponi dasar. Untuk lebih jelasnya kita simak Pasal 14 yang bunyinya
Pasal 14
(1) Penyelenggaraan jasa teleponi dasar diselenggarakan oleh:
a. penyelenggara jaringan tetap lokal;
b. penyelenggara jaringan bergerak seluier;
c. penyelenggara jaringan bergerak satelit; atau
d. penyelenggara radio trunking.
(2) Penyelenggaraan jasa teleponi dasar dapat diselenggarakan oleh selain penyelenggara jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan wajib mendapat izin dari Menteri.
Jelas bahwa penyelenggara jasa teleponi dasar dapat dilakukan oleh non-operator asal ada ijin Menteri. Jadi secara prinsip rakyat Indonesia bisa mengoperasikan Open BTS memang yang agak rewel harus pakai ijin menteri untuk memperoleh ijin penyelenggaraan jasa teleponi dasar.
Semoga Pak Menteri tidak akan pegal tangannya untuk menandatangani ijin penyelenggaraan jasa teleponi dasar bagi ribuan desa yang tidak ada sinyal.
Selanjutnya, akan dibahas lebih dekat mengenai cara regulator mengalokasikan frekuensi khususnya GSM di Indonesia.
*) Penulis, Onno W. Purbo, adalah penggiat teknologi informasi dan internet Indonesia.
sumber : detik inet